Selasa, 09 Februari 2010

Kajian Feminisme - Pendekatan Studi Islam

STUDI ISLAM
DALAM PENDEKATAN FEMINISME
Oleh: Ipah Jahrotunasipah, S.Pd.

 Sejarah Feminisme & Beberapa Aliran
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Gelombang kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Perkembangan di Amerika Serikat
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
Berikut beberapa aliran dalam feminisme:
Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
 Feminisme dalam Kajian Hermeunitik-Fenomenologis
Cara pandang dubyek-obyek terhadap alam terbukti berdampak negatif, malah cenderung eksploitatif. Sejak Rene Descartes (1596-1650) memproklamirkan cogito ergo sum-nya manusia begitu bangga dengan rasionya dan menjadikannya merasa sebagai penentu realitas. Alam adalah obyek yang harus dimanfaatkan bahkan kalau perlu dieksploitasi untuk segala macam kepentingan manusia (human interest).
Inilah babak baru dimulainya era modern yang mendewa-dewakan empirisme-mekanik dengan asumsi bebas nilai (falue-free). Sedianya asumsi ini dihadirkan untuk menjaga jarak netral dari segala macam pretensi dalam rangka meraih obyektifitas. Namun pada perjalanannya, asumsi ini justru menjadi senjata makan tuan.
Asumsi falue-free justru menjadi ilmu pengetahuan dengan mudah dapat dimanipulasi ke dalam berbagai nilai dan kepentingan atau malah meneguhkan status quo. Inilah salah satu kritik yang dilancarkan oleh Haber Mas, salah seorang filosof dari mazhab frank frurt (Listiono dkk, 2006).
Modernisme menjadi idiologi baru dengan asumsi kebenaran monolitik universal. Tujuan ilmu pengetahuan yang pada awalnya untuk mencari kearifan dengan memahami kearifan alam dan demi keagunganNya atau seperti ungkapan Cina untuk mengikuti tatanan Tuhan dan mengalir dari Tao, diubah hanya sekedar untuk mengendalikan dan menguasai alam dan sama sekali antiekologis.
Pencemaran kimiawi, polusi, kerusakan lingkungan, perang, stress, ketimpangan sosial, dan krisis moral adalah salah satu buah dari paradigma ini (fritjof Capra, 2000). Jika cara pandang dikotomi subyek-obyek semacam ini terbukti merugikan alam. Bagaimana jika diberlakukan bagi manusia?
Relasi Paradoks
Struktur sosilogis masyarakat kita sebenarnya tidak-sepenuhnya-patrikhal. Kendati laki-laki masih menempati posisi dominan dalam masyarakat, namun disana-sini masih terlihat adanya pembagian kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan. Tak jarang diantara kaum perempuan yang menempati pos-pos kerja yang diasumsikan sebagai wilayah kerja lak-laki. Tak jarang para wanita yang justru bekerja menjadi penopang nafkah keluarga.
Hal ini agaknya bersesuaian dengan ranah budaya jawa, dimana ketika seorang pasangan suami-isteri melakukan pernikahan kontrak yang dipakai adalah konsep kebersamaan dan kesetaraan yang sering disebut dengan”brayan” maksudnya kurang lebih suami-isteri mempunyai porsi yang sama dalam keluarga. Satu sama lain berkewajiban saling membantu dan meringankan beban satu sama lain.
Dalam masyarakat kita sudah sangat familiar sebuah pepatah ;ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Malah maksud yang sama, pada ranah kenegaraan, funding father negeri ini Sukarno mencetuskan konsep”gotong royong”. Konsep ini tak lain dan tak bukan prinsip kesetaraan (equality) itu sendiri.
Tapi semua prinsip ini serupa suara sengau yang intonasinya sama sekali tak berimbang. Jangankan merdu semuanya terkadang hanya sebatas jargon tanpa isi. Persepsi masyarakat kita masih memandang sebelah mata terhadap perempuan. Perempuan masih dipandang sebagai makhluk kelas dua (the second class) sekaligus menjadi obyek laki-laki.
Setereotype yang terlanjur berkembang bahwasanya laki-laki adalah the self (baca : makhluk utama) dan wanita adalah the other (baca : makhluk kedua). Laki-laki adalah kepala rumah tangga yang berhak mengatur. Sedangkan perempuan sebagai pihak yang harus diatur dan ‘sungkem’ kepada suaminya.
Ini adalah relasi timpang dimana pihak laki-laki bertindak sebagai hegemoni dan pihak perempuan sebagai sub ordinat. Istialh rencang wingking (teman belakang) masih belum sepenuhnya luntur dari masyarakat kita. Tugas perempuan masih diidentikkan dengan macak, manak, masak, atau kasur dapur sumur. Prinsip brayen sering kali di plintir oleh sang suami dengan maksud agar sang isteri dengan suka rela membantu pekerjaanny. Tapi sayangnya tidak harus berlaku kebalikan.
Akibatnya perempuan sering mempunyai tugas ganda. Dari urusan domestik sampai urusan publik. Bayangkan, dalam masyarakat petani pedesaan, seorang isteri sejak bangun tidur harus mulai menyiapkan sarapan, mengurus anak an pekerjaan-pekerjaan lainnya. Sementara sang suami santai-santai menyeruput teh manis sambil menunggu sarapan pagi dan menunggu jam kerja.
Setelah capai kerja didapur, ternyata sang isteri harus bersama-sama suaminya pergi ke sawah. Ini jelas tidak adil. Celakanya, kebiasaan ini dianggap angin lalu saja, malah menjadi semacam doktrin yang tabu untuk diganggu gugat.
Ketaatan isteri seringkali diasumsikan sebagai ketaatan yang sudah semestinya dan akan mendapat imbalan surga. Akibatnya, pihak perempuan tak menyadari bahwa dirinya berposisi sebagai pihak yang ter (di) jajah. Mereka terasing (teralienasi) dari kesadarannya yang sesungguhnya.
Fenomenologi
Posisi subyek-obyek semacam inilah ditentang oleh Martin Heideggar (1889) sampai (1976) filsafat fenomenologinya ingin melaraskan hubungan antara manusia dan alam. Hubungan antara manusia dan alam baginya bukan hubungan subyek dan obyek. Manusia (desain) adalah makhluk secara taken for grented terlibat dalam dunianya (being-already-in-the-world) perjumpaan manusia dengan dunianya adalah perjumpaan penghayatan makna (umwelt), perjumpaan yang hangat dan tak berjarak (exsistenz) jika relasi subyek-obyek antara manusia dan alam saja ditentang oleh Heidegger maka bagaimana hubungan manusia antar manusia. Relasi subyek-obyek yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tentu sangat bertentangan dengan filsafat ini. Manusia terlepas dari jenis kelaminyatak bisa diberlakukan sebagai layaknya benda-benda. Manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri (fursorgen).
Hermenutika fenomenologi adalah hermenutika yang melepaskan diri dari polarisasi subyek-obyek ini. Penafsir adalah pihak yang sama sekali yang tidak netral. Manusia, kendati mempunyai kehendak bebas dan pilihan-pilihan tertentu, tapi tetap saja ia tak dapat keluar dari ranah kesejarahannya. Karena alasan inilah Heideggar menyebtuknya sbagai desain ; makhluk sejarah.
Hermeneutika Heideggarian ini kiranya sangat tepat jika kita jadikan alat baca gender. Visi heremeneutika adalah untuk menghancurkan relasi timpang subyek-obyek antara laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi penafsiran kitab suci, tafsir ini akan berlawanan dengan tafsir mainstream yang cenderung misoginis.
Tafsir yang terakhir ini disebabkan diantaranya karena penafsir (interpreter) melihat teks secara letteral sebagaimana sains modern memandang realitas sebagai tumpukan fakta-fakta. Padahal menafsir adalah mencari makna diantara bunyi teks. Modernisme seharusnya mengubah cara pandangnya terhadap alam ke arah yang ramah dengan menghayati kebermaknaan seluruh jalinan makna-makna dari fakta-fakta tersebut.
Penafsir kitab suci harus mengubah cara pandangnya terhadap teks dengan cara mencari jalinan relasi visi dan makna yang terkandung didalamnya. Hal yang tak boleh dilupakan bahwasanya penafsir adalah desain. Makhluk sejarah cara pandangnya sangat dipengaruhi faktor sosio-historis yang meliputinya.
Pengalaman sejarah dan struktur baru yang berbeda-beda tentunya akan melahirkan tafsir yang berbeda-beda. Tapi visinya harus tetap sama ; keadilan sosial (social justice) dan kesetaraan (equality).
 Tafsir Al-Qur’an dalam Perspektif Perempuan
Secara defenitif para ahli tafsir pada umumnya menyebut al-Qur’ân sebagai: “Kalâmullâh (kata-kata Allah) yang diturunkan melalui Malaikat Jibrîl kepada Nabi Muhammad Saw, yang disampaikan kepada kita melalui rangkaian yang terpercaya (mutawâtir), tertulis dalam mush-haf. Membacanya dinilai sebagai ibadah (berpahala). Al-Qur’ân juga sebuah mu’jizat, yakni sesuatu yang luar biasa,di luar kemampuan manusia dan bahasanya tidak bisa ditandingi (i’jâz)”.(Baca : al Qur’an: Q.S. al Baqarah [2] :23). Adalah keyakinan kaum muslimin bahwa al-Qur’ân adalah wahyu Allah, kitab suci dan sumber paling utama dan otoritatif bagi aktifitas kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terkandung seluruh aspek yang dibutuhkan bagi kehidupan kaum muslimin yang akan mengantarkannya pada kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Al-Qur’ân sendiri menyatakan diri sebagai kitab yang menjelaskan segala hal (tibyân li kulli syai’). (Baca: Q.S. al An’am, 6: 38, al Nahl, 16: 89).
Tetapi pernyataan al-Qur’ân ini segera harus dipahami secara kritis. Menjelaskan segala hal tidak berarti bahwa al-Qur’ân menjelaskan detail-detail masalah kehidupan, sebab dalam kenyataannya memang tidak demikian. Al-Qur’ân sebagai kitab yang abadi tidak mungkin menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan kehidupan yang berkembang dan berubah secara terus menerus sampai dunia berakhir. Al-Qur’ân hanyalah mengemukakan prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai moral dan ketentuan-ketentuan umum. Sebagian besar menyampaikan kisah-kisah atau sejarah kehidupan masyarakat sebelumnya. Ini semua dimaksudkan sebagai pelajaran, contoh, bahan pemikiran (‘ibrah) bagi manusia.
Ayat-ayat yang terkait dengan persoalan-persoalan hukum, menurut Imam al-Ghazali, hanya dijelaskan dalam 500 ayat. Sementara persoalan-persoalan dan kasus kasus hukum tentu saja jutaan bahkan tak terhitung. Imam Haramain mengatakan bahwa ayat-ayat hukum dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan bagaikan satu ciduk air di antara air lautan. Di sinilah maka penjelasan secara detail pertama-tama dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad saw yang biasa disebut as-Sunnah (tradisi Nabi). Al Qur’an sendiri menyatakan fungsi Nabi ini. “Dan Kami menurunkan kepada engkau (Muhammad) al Qur’an agar engkau menjelaskannya kepada mereka”.(Q.S. al Nahl, 16 :44).
Teks-teks Sunnah (hadits) juga terbatas jumlahnya. Sesudah Nabi wafat, teks-teks suci ini selanjutnya dipahami oleh kaum muslimin. Ini yang kemudian dikenal dengan sebutan ijtihâd. Dalam keyakinan kaum muslimin pula, al-Qur’ân merupakan kitab suci yang tidak mungkin mengandung kontradiksi-kontradisksi antara satu teks dengan teks yang lain, karena ia merupakan kata-kata Tuhan yang Maha Benar. (QS. an-Nisâ, 4: 82). “Tidak ada yang salah (batal) di dalamnya, semuanya diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji”.(QS. Fusshilat, [41]: 42). Al-Qur’ân adalah firman Tuhan yang terakhir dan dibawa oleh Nabi yang terakhir pula, dan karena itu berlaku untuk masa yang panjang, abadi dan untuk seluruh umat manusia.

Risalah (Missi) Al-Qur’ân
Al-Qur’ân memberikan pernyataan yang sangat eksplisit bahwa ia adalah buku petunjuk, penuntun dan pembimbing bagi manusia (hudan li an-nas) dan untuk menebarkan kerahmatan universal (rahmatan li al ‘âlamîn). (Q.S. Al An’am, 6:157). Pernyataan ini menjelaskan kepada kita bahwa al-Qur’ân adalah kitab (bacaan) yang terbuka bagi setiap akses manusia untuk mengusahakan terwujudnya sistem kehidupan yang memberi rahmat dan yang mensejahterakan. Pada umumnya kesejahteraan itu kemudian diartikan sebagai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Terma kerahmatan mengandung di dalamnya seluruh makna kebaikan. Dan ini tentu saja meniscayakan berlakunya nilai-nilai dan norma-norma kemanusiaan seperti kasih sayang, cinta, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan sosial. Nilai-nilai dan norma-norma kemanusiaan ini pada dasarnya adalah wujud dan ekpresi dari keyakinan atau keimanan kepada kemahaesaan Allah sebagai satu-satunya otoritas tertinggi atas alam semesta.
Keseluruhan ayat-ayat al-Qur’ân yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surah, diturunkan kepada masyarakat Arabia akhir abad ke 6 dan awal abad ke 7 M, dalam kurun waktu sekitar 23 tahun melalui proses bertahap, gradual, dan tidak sekaligus. Tetapi dalam waktu yang bersamaan ia bersifat transformatif dan progresif. Ayat-ayat al-Qur’ân diturunkan dalam dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal dalam terminologi ulûm al-Qur’ân sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah. Para ahli tafsir, merumuskan Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi masih beradadi Makkah atau ketika Nabi belum hijrah, pindah ke Madinah. Sementara Madaniyah adalah ayat-ayat yang diterima Nabi ketika berada di Madinah atau sesudah hijrah.
Kenyataan sejarah al-Qur’ân ini penting dikemukakan untuk memungkinkan kita dapat memahami bahwa kitab suci ini tengah berdialog secara dinamis dan interaktif dengan akal dan budaya Arabia abad itu dalam konteks sosial-budaya yang berbeda. Salah satu hal yang sangat menarik dari al-Qur’ân adalah bahwa ia hadir tidak dalam kerangka meruntuhkan seluruh dan total atas bangunan tradisi, adat istiadat dan budaya masyarakat waktu itu. Al-Qur’ân memberikan respon positif bahkan pandangan-pandangan yang appresiatif terhadap tradisi dan budaya lokal, tetapi dalam waktu yang bersamaan ia juga mengemukakan pandangan-pandangan yang sangat kritis sambil mengarahkannya pada konstruksi kebudayaan baru yang didasari oleh cita-cita besar kemanusiaan sebagaimana sudah disebutkan.
Dalam bahasa lain teks-teks al-Qur’ân hadir untuk melakukan proses-proses transformasi terhadap kebudayaan masyarakat Arab tanpa merusaknya secara total dan revolusioner menuju terwujudnya konstruksi sosial baru yang lebih baik. Gambaran secara umum kandungan al Qur’an memuat hal-hal atau persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketauhidan (kemahaesaanTuhan), kehidupan akhirat (eskatologis) dan hal-hal yang ghaib (metafisika) lainnya, sejarah sosial bangsa-bangsa sebelumnya, peribadatan (ritus-ritus personal) yang meliputi shalat, puasa zakat dan haji, hubungan antar manusia baik dalam lingkup keluarga (hukum keluarga) maupun dalam lingkup sosial-ekonomi-politik, etika sosial (akhlaq/ moral) dan relasi kemanusiaan lainnya.
Pada umumnya keseluruhan ayat al-Qur’ân itu kemudian dibagi dalam tiga katagori, yakni keimanan (aqîdah), peribadatan (ibâdah) dan Mu’âmalah (pergaulan sosial-kemanusiaan). Bidang ketuhanan, keakhiratan (dimensi eskatologis) dan metafisis masuk dalam katagori keimanan atau aqidah. Ini merupakan basis spiritualitas. Bidang ritual personal disebut ibadah. Ini merupakan ekpresi keimanan individual. Dan bidang hubungan antar manusia; domestik dan publik, disebut mu’amalat. Ini merupakan ekspresi keimanan dalam relasi antar personal.
Terhadap katagorisasi tersebut adalah menarik untuk mengemukakan pandangan paradigmatik dari Syeikh Muhammad Madani dalam buku ‘Mawâthin al-Ijtihâd’. Menurutnya, ayat-ayat al-Qur’ân (dan hadits Nabi) yang membicarakan bidang aqidah disampaikan melalui gaya bahasa ikhbâr (pemberitaan). Misalnya Tuhan itu Esa atau “Tidak ada Tuhan melainkan Allah”. Atau “Tuhan telah menyediakan sorga untuk orang-orang yang beriman dan beramal saleh”. Demikian pula kalimat “Muhammad adalah utusan Tuhan” Ini merupakan kalimat berita yang kita terima melalui jalan yang meyakinkan. Tuhan disebut sebagai mukhbir (pembawa berita). Ia menyampaikan segala sesuatu menurut apa yang sebenarnya. Al-Qur’ân tidak menyuruh kita untuk menyelidiki keesaan Allah wujud hari akhirat dan seterusnya. Dalam hal seperti ini Allah menyerahkannya kepada manusia untuk mempercayainya atau tidak, tentu dengan konsekwensinya masing-masing. Di sinilah persoalan keimanan seseorang dipertaruhkan.
Dalam bidang ibadah, Al-Qur’ân menyampaikannya dalam bahasa ibtikâri (kreatifitas) dan Tuhan dan Nabi disebut (mubtakir, munsyi’, kreator). Dengan kata lain teks-teks al-Qur’ân menetapkan sendiri aturan-aturan pokoknya. Aturan-aturan pokok dalam bidang ibadah seperti berdiri, duduk, membaca al-Fatihah atau ayat al-Qur’ân dan lain-lain dalam shalat dibuat sendiri oleh Tuhan dan atau Nabi-Nya (Syâri’). Syâri’ juga menentukan nama-nama shalat, bilangan raka’at, waktu puasa dan cara-caranya, waktu dan caracara haji dan lain-lain. Untuk semua ini kita hanya bisa menerimanya tanpa perlu mempertanyakan “mengapa”. Sementara dalam bidang mu’amalat (pergaulan sosialkemanusiaan) Tuhan dan Nabi bertindak sebagai nâqid, yakni kritikus atau korektor. Di sinilah maka ayat-ayat al-Qur’ân tidak menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan relasi antar manusia secara rinci, detail, apalagi yang sangat teknis, melainkan dalam bentuk aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip dasar.
Fakta-fakta sosial ketika Nabi di Madinah menunjukkan relasi sosial-ekonomi-politik sudah terbentuk dan berjalan lama sesuai dengan tradisi masyarakat di sana. Ayat-ayat al-Qur’ân yang turun maupun keputusankeputusan Nabi tidaklah membatalkan, menghapus atau melarang semua bentuk-bentuk hubungan atau transaksi di antara mereka. Sebaliknya Al- Qur’ân maupun hadits Nabi hanya memasukkan etika dan nilai-nilai moral baru yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa etika sosial dan nilai kemanusiaan yang disampaikan Nabi antara lain; ’adam azh-zhulm (tidak bertindak zalim, menganiaya, tidak adil), ‘adam al-gharar (tidak menipu), ‘adam al-maisir (tidak mengandung perjudian), tidak merusak akal, antarâdhin (saling menerima) atau ittifâq (kesepakatan) dan lain-lain.
Terhadap bidang terakhir ini kita mendapatkan ucapan Nabi saw yang menyatakan: “antum a’lamu bi umûr dunyâkum” (kalian lebih tahu tentang urusan duniamu). Para ulama kemudian menetapkan sebuah kaedah atau prinsip dasar; “al ashlu fi al-mu’âmalah al-Ibâhah illâ in dalla ‘alâ hurmatih” (pada dasarnya dalam urusan muamalah (pergaulan kemasyarakatan-kemanusiaan) adalah boleh kecuali ada dalil (ketentuan yang mengharamkannya). Kaedah lain, “Al-Ashl fî al-uqûd al-ma’âni lâ almabâni (ketentuan dasar dalam transaksi antar manusia adalah kandungan maknanya bukan bentuk formalnya).
Memahami Latarbelakang Turunnya teks-teks al-Qur’ân (Asbâb an- Nuzûl)
Uraian singkat di atas memperlihatkan kepada kita bahwa al-Qur’ân tidak dapat difahami secara sederhana hanya dengan membaca arti harfiyahnya semata. Pembacaan al-Qur’ân secara harfiyah semata-mata di samping membatasi kehendak Tuhan, juga sangat memungkinkan bagi terjadinya pemahaman-pemahaman yang keliru dan dapat melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak relevan dengan prinsip universalitas dan keabadiannya. Bahkan kemungkinan juga tidak relevan dengan proses-proses kehidupan yang secara alamiyah berjalan dalam perubahan dan perkembangan yang terus menerus.
Sebaliknya, kekeliruan dalam memahami teks-teks al-Qur’ân sesungguhnya dapat dihindari hanya ketika orang melihatnya dalam konteksnya masing-masing, baik konteks linguistiknya, konteks ketika ayat diturunkan maupun konteks sosio-kultural yang melingkupinya. Untuk ini adalah menarik mengemukakan pandangan asy-Syathibi (w. 790 H), ahli ushul fiqh Spanyol dalam bukunya yang terkenal “Al-Muwâfaqât fi Ushûl asy-Sharî’ah”. Ia mengatakan: “Bagi pengkaji al-Qur’ân, pengetahuan tentang ‘asbab an-nuzul’ (latarbelakang turun/ historical background) adalah sesuatu yang niscaya”.
Menurut Syathibi, “ketidak-mengertian orang mengenai hal ini dapat menjebaknya pada kesalahpahaman, kesulitan-kesulitan dan kontradiksi-kontradiksi dan perselisihan antar manusia”. Ia menceritakan sebuah kisah menarik mengenai hal ini. Ibrahim at-Taimi menurut Abu Ubaidah pernah mengatakan: “suatu hari Umar bin Khattab merenung seorang diri ambil bertanya kepada dirinya sendiri: “Bagaimana umat berselisih pendapat, padahal Nabinya satu kiblatnya juga satu?”. Hal itu kemudian ditanyakan kepada Ibnu Abbas. Sahabat besar ini lalu mengatakan: “Hai Umar, Kepada kita al-Qur’ân diturunkan, lalu kita membacanya dan kita mengetahui dalam hal apa ia diturunkan. Kelak sesudah kita, umat membaca al-Qur’ân, tetapi mereka tidak mengetahui dalam hal apa ia (ayat-ayat) diturunkan. Apabila mereka menyampaikan suatu pendapat (menafsiri), mereka akan berbeda pendapat. Dan jika mereka berselisih, mereka (bisa) saling membunuh”. Umar segera memotong ucapannya sambil membentak. Ibnu Abbas kemudian pergi di bawah tatapan mata Umar. Ia merenungi kata-katanya. Tidak lama sesudah itu Umar segera memanggilnya kembali. “Tolong ulangi ucapanmu tadi” kata Umar. Usai Ibnu Abbas mengulangi kembali, Umar langsung memujinya. Ia membenarkan kata-katanya dan perlu dipegang.
Syathibi selanjutnya mengatakan bahwa “untuk memahami teks bahasa Arab dengan mana al-Qur’ân diturunkan diperlukan pengetahuan tentang sejumlah kondisi dan konteks (Muqtadhayât al-Ahwâl); kondisi bahasa (nafs al-khithâb), konteks mukhâthib (author) dan konteks mukhâthab (audience)”... dan untuk memahami ini diperlukan pula konteks-konteks di luarnya yang lebih luas (al-umûr al-khârijiyyah)” .
Pada halaman lain, Syathibi menegaskan mengenai perlunya “memahami tradisi, adat istiadat masyarakat Arab dalam berbahasa, bertingkahlaku dan berinteraksi ketika teks-teks al-Qur’ân diturunkan” . Pernyataan ini jelas memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya memahami konteks kesejarahan masyarakat yang menjadi audien al-Qur’ân.
Jauh sebelumnya, al-Ghazali (w.1111) pernah mengemukakan pandangannya mengenai hal ini. Ia mengatakan bahwa “untuk dapat memahami maksud teks diperlukan pengetahuan makna bahasa yang sengaja dibuat dan digunakan dalam pergaulan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan memahami teks itu sendiri atau dengan merujuk pada teks-teks lain yang senada. Pemahaman atas teks juga bias dengan menggunakan nalar rasional (ihalah ‘ala dalîl al-‘aql) dan melalui indikasi-indikasi sejumlah konteks; isyarat-isyarat, simbol-simbol (rumûz), perubahan-perubahan (harakât), konteks yang mendahuluinya (sawâbiq) dan yang menyertainya (lawâhiq) serta hal-hal lain yang tidak terbatas” .

 Perempuan dalam konteks sosial Arab
Informasi yang kita terima dari al-Qur’ân menyebutkan bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab sampai pada masa al-Qur’ân diturunkan adalah kondisi yang tidak menguntungkan bahkan sangat buruk. Perempuan bukan hanya dipandang sebagai makhluk Tuhan yang rendah, melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan diperlakukan sebagai layaknya budak. (QS. Al-Nisa, 4:19). Mereka juga dianggap tidak memiliki hak apa-apa atas kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial.
Peran-peran perempuan dibatasi pada wilayah domestik dan dalam kerangka melayani kebutuhan seksual laki-laki. Beberapa ayat al-Qur’ân bahkan menyebutkan adanya tradisi pembunuhan bayi-bayi perempuan hidup-hidup. (QS. 16: 58-59, QS.81: 8-9). Alasannya adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah beban ekonomi dan bisa mencoreng muka atau memalukan keluarga. Keadaan ini biasanya berlaku pada keluarga miskin dan marginal.
Realitas posisi subordinat perempuan juga diinformasikan oleh ayat 34 surah al-Nisa. Ayat ini menjelaskan bahwa kepemimpinan atau kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di tangan laki-laki. Al-Qur’ân menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki memiliki kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena fungsi ekonomi ada di tangan laki-laki. Yang menarik adalah bahwa teks tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit tentang kelebihan laki-laki atas perempuan. Dan apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki tersebut bersifat tetap, tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli tafsirlah yang kemudian mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena kwalitas intelektualnya yang lebih tinggi, di samping karena fungsi penanggungjawab nafkah. Akibat dari ketimpangan relasi kuasa dalam dua hal ini; intelektual dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki hak untuk dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting baik dalam ruang domestik maupun publik.
Umar bin Khattab, seorang tokoh terkemuka dan teman sebaya Nabi Muhammad Saw juga pernah memberikan kesaksian atas kondisi umum kaum perempuan Arab para Islam tersebut. Ia mengatakan: “Kami bangsa Arab sebelum Islam, tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi begitu nama mereka disebut-sebut Tuhan (dalam al-Qur’ân), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami”17. Beberapa penjelasan tentang kondisi perempuan di atas, meskipun tidak merupakan kondisi yang menyeluruh, setidaknya dapat menggambarkan sebuah wajah patriarkhis dalam konstruksi sosial-budaya masyarakat Arab pra Islam.
Di atas landasan konstruksi sosial inilah al-Qur’ân hadir untuk membangun konstruksi sosial-budaya baru ke arah yang lebih beradab dan berkeadilan. Dan seperti sudah dikemukakan, konstruksi sosial baru yang ingin diwujudkan al-Qur’ân ditempuh melalui cara-cara yang tidak revolusioner, tidak radikal, tidak instan dan anti kekerasan. Meski demikian pembaca teks-teks al-Qur’ân yang kritis dan cerdas akan menjumpai bahwa transformasi yang dilancarkan al-Qur’ân sesungguhnya dapat dipandang progresif dan terlalu modern untuk zamannya. Bayangkan, dalam masa kurang dari 23 tahun al Qur’an diturunkan, perubahan-perubahan besar telah terjadi, baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Dan seratus tahun sesudah itu, peradaban baru berskala dunia, muncul. Lebih spektatuler lagi adalah bahwa Nabi Muhammad telah mencanangkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, melalui apa yang kemudian populer disebut “Piagam Madinah”.
Marshall G.S. Hodgson menyebut keadaan tersebut dalam ungkapannya yang menarik: “Pada tingkat literal yang cerdas dimana suara hati dari orang-orang yang berkembang terlibat, kedatangan Islam menandai suatu pelanggaran dalam kesinambungan kultural yang tiada bandingnya di antara peradaban-peradaban besar yang telah kita kenal”.
Kita mungkin dapat mengatakan bahwa proses transformasi al-Qur’ân secara umum adalah transformasi kultural; dari tidak ada menjadi ada dan dalam proses yang terus menerus untuk menjadi. Cara-cara atau pendekatan demikian bukan hanya diberlakukan dalam masalah-masalah perempuan tetapi juga dalam masalah-masalah yang lain. Contoh kasus perubahan gradual yang biasa dikemukakan para ahli tafsir adalah ayat-ayat tentang khamr (minum-minuman keras) atau riba (bunga, renten).
 Ayat-ayat Perempuan dalam al-Qur’ân
Kehadiran al-Qur’ân dalam kultur patriarkal tersebut pada gilirannya membawa implikasi logis terhadap banyaknya wacana dan pesan yang ditujukan lepada audiens laki-laki. Bahkan, meskipun pesan al-Qur’ân ditujukan untuk kedua jenis kelamin tersebut akan tetapi seringkali digunakan bahasa untuk laki-laki. Para ulama menyebut cara ini dengan li al-taghlib. Ini adalah sesuatu yang biasa dalam bahasa manapun.
Walaupun begitu, sangat jelas terbaca pula bahwa al-Qur’ân mengemukakan tema-tema yang menyangkut dan diarahkan kepada perempuan dalam banyak ayat. Ayat- ayat ini terbagi dalam dua katagori besar. Yakni katagori ayat-ayat universal dan ayat-ayat partikular. Ayat-ayat universal adalah ayat-ayat yang menunjukkan pada pola hubungan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara dan adil sementara ayat-ayat partikular adalah ayat-ayat yang memperlihatkan pola hubungan yang bias gender dalam mana perempuan diposisikan secara subordinatif.
Ayat-ayat tersebut hadir atau diturunkan berkaitan dengan aturan-aturan praktis dalam kerangka pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan baik dalam ruang domestik maupun publik.Ayat-ayat ini muncul lebih dalam kerangka mengakomodasi konteks sosio-kultural yang patriarkhis dalam bentuknya yang sudah direduksi atau ditransformasi. Jika semula perempuan dianggap setengah manusia atau tidak dihargai, maka al- Qur’ân menyebutkan dan menghargainya sebagai manusia yang utuh, dari sama sekali tidak mendapatkan bagian waris, al-Qur’ân memberinya meskipun masih separoh, dari semula tidak memiliki hak cerai, al-Qur’ân memberinya meskipun melalui proses pengaduan, dan seterusnya.
Ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara mengenai perempuan menyebar dalam sejumlah surah al-Qur’ân. Antara lain an-Nisa, Al-Hujurât, 13, al-Mumtahanah, 10, al- Ahzâb, 58, al-Buruj, 10 dan Muhammad, 19. Ayat-ayat ini berbicara tentang penciptaan manusia dan keimanan laki-laki dan perempuan. Tentang balasan amal perbuatan personal maupun sosial perempuan dikemukakan dalam an-Nahl, 97, al- Mukmin, 40, Ali Imrân, 124 dan 195, Al-Ahzâb, 35 dan at-Taubah,72. Tentang peran social politik perempuan disebutkan dalam QS. at-Taubah, 71 dan al Mumtahanah, 12.
Ayat-ayat tersebut secara eksplisit menegaskan kesetaraan posisi dan peran laki-laki dan perempuan. Ini merupakan apa yang saya sebut sebagai ayat-ayat universal. Di luar itu terdapat sejumlah besar ayat al-Qur’ân yang juga berbicara tentang perempuan tetapi dalam bentuknya yang lebih operasional atau praktis mengenai tema-tema dan masalah-masalah tertentu (partikular). Misalnya tentang nikah, rujuk, talak, waris, relasi seksual dan hal-hal yang terkait dengan semuanya atau yang secara umum dikenal dalam ilmu fiqh sebagai “al-ahwal asy-syakhshiyyah” (family law atau personal law) serta tentang kesaksian perempuan dalam urusan ekonomi. Ayat-ayat ini membicarakan pembagian kerja, peran, fungsi antara laki-laki dan perempuan.
Sebagian besar ayat-ayat tersebut terdapat dalam surah an-Nisa (perempuan) dan ath-Thalâq (perceraian). Keduanya masuk dalam katagori surah Madaniyyah. Selebihnya dikemukakan dalam berbagai surah. Secara singkat dapat kita katakan bahwa pada tema-tema dan persoalan-persoalan ini ayat-ayat al-Qur’ân masih memperlihatkan kecenderungan memposisikan perempuan secara subordinat.
Misalnya tentang kepemimpinan (alqiwâmah); laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, perempuan dipimpin, karena itu perempuan wajib taat kepada suaminya. Tentang hak waris dan kesaksian perempuan; hak perempuan adalah setengah hak laki-laki. Tentang perceraian. Hak ini ada di tangan laki-laki, sementara perempuan hanya berhak mengajukan gugatan cerai (khulu’). Dalam sejumlah ayat tentang perkawinan disebutkan bahwa laki-lakilah yang mengawinkan perempuan melalui perwalian, sementara laki-laki mengawinkansendiri tanpa perwalian. Demikian juga hak-hak perempuan yang lain.
 Tafsir al-Qur’ân Perspektif Perempuan
Posisi subordinat perempuan dalam persoalan-persoalan partikulatif di atas tampaknya merupakan konsekwensi-konsekwensi logis yang lahir dari pernyataan al-Qur’ân tentang otoritas laki-laki atas perempuan yang disebutkan dalam QS. an- Nisa, ayat 34 dan didukung oleh QS al-Baqarah, ayat 228. Membaca ayat-ayat ini secara literalistik (mengartikannya secara harfiyah) dan tanpa mengaitkannya dengan ayat lain, keterangan lain atau tanpa memperhatikan konteks sosialnya, maka mudah membuat kesimpulan bahwa laki-laki menurut Tuhan ditakdirkan sebagai pemimpin, penguasa, pengendali atau pendidik perempuan, sebaliknya perempuan diposisikan sebagai yang dipimpin, dikuasai, dikendalikan atau dididik.
Dalam banyak tafsir ayat tersebut kemudian dijadikan dasar hukum (tasyrî’) yang tetap dan selama-lamanya. atau bersifat normatif dan bukannya bersifat fungsional belaka bagi setiap hubungan laki-laki dan perempuan. Jika pendapat ulama tersebut diyakini sepenuhnya, maka sebenarnya ia akan bertentangan dengan ayat-ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia. Jadi di sini kita melihat adanya inkonsistensi atau kontradiksi antar ayat; ayat kesetaraan di satu sisi dan ayat subordinasi di sisi yang lain. Penafian, kontradiksi satu ayat atas ayat yang lain seharusnya tidak boleh terjadi, kecuali jika diberlakukan teori naskh (penghapusan) atau takhsîsh (pengecualian atau pembatasan).
Dalam kaitan dengan ayat 34 surah an-Nisa tadi, ia merupakan takhshish (pengecualian atau pembatasan) atas ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia sebagaimana sudah dikemukakan. Takhshîsh, pengecualian atau pembatasan ini dilakukan oleh al-Qur’ân oleh karena adanya konteks tertentu yang menyertainya. Dalam hal ini adalah tradisi atau konteks sosiokulturalnya.Yakni takhshish bi al-Urf. Membaca ayat ini dengan cermat akan terlihat dengan jelas bahwa ia sesungguhnya tengah menginformasikan kepada pembacanya tentang realitas sosial yang patriarkhis. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam realitas sosial ketika itu sebagaimana disebutkan oleh ayat itu, didukung oleh dua alasan, yaitu keunggulan dan tanggungjawab enonomi.
Meskipun al-Qur’ân tidak menyebut kriteria keunggulan yang dimiliki laki-laki, tetapi hampir semua ahli tafsir klasik maupun modern menyatakan bahwa ia adalah keunggulan akal intelektual dan kekuatan fisiknya. Tetapi mereka menyatakan bahwa keunggulan akal intetelektual tersebut sebagai sesuatu yang kodrat, yang diciptakan Tuhan dan melekat secara tetap pada setiap laki-laki. Mereka mengambil dasar legitimasi pendirian ini dari sumber lain, misalnya tentang sejarah mitologi kejatuhan Adam dan Hawa dari sorga.
Imam Ibnu Jarir al Thabari, guru para ahli tafsir, dalam kitab Jami’ al-Bayân fî Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, menyatakan bahwa Adam diusir dari sorga gara-gara Hawa. Karena itu Tuhan menjatuhkan hukuman kepada Hawa dengan menjadikannya menstruasi setiap bulan, bodoh, dan sakit ketika melahirkan. Pendirian ini juga mengambil legitimasi dari hadits Nabi yang sahih tentang kekurangan agama dan akal perempuan. Nabi mengatakan: “Aku tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya kecuali kalian (perempuan)”.
Kekurangan akal perempuan menurut hadits tersebut disebabkan karena kesaksiannya separoh kesaksian laki-laki. Kekurangan perempuan dalam agama adalah karena mainstruasinya yang terjadi setiap bulan mengharuskan dia tidak shalat. Pernyataan Nabi ini oleh para ulama dipandang sebagai kodrat semua perempuan. Ini sesungguhnya berbeda dengan bahasa al-Qur’ân sendiri. Al-Qur’ân tidak mengemukakan mengenai hal ini dalam bahasa yang normatif, yakni melekat pada semua laki-laki, melainkan relatif. Ungkapan yang digunakan al-Qur’ân adalah ‘sebagian atas sebagian’.
Sebagian yang dimaksud ayat tersebut bisa berarti keadaan umum, pada umumnya atau mainstream. Pada saat yang sama, kita tidak dapat menolak suatu kenyataan adanya sejumlah perempuan yang memiliki keunggulan intelektual dan kemampuan ekonomi dan menafkahi keluarga, antara lain para isteri Nabi, seperti Siti Khadijah dan Siti Aisyah, untuk menyebut beberapa saja. Al-Qur’ân sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa keunggulan atau keistimewaan seseorang dilihat dari sisi jenis kelamin atau dari sisi latar belakang kultural atau lainnya. QS. Al-Hujurât, ayat 13 secara jelas menegaskan bahwa kelebihan atau keistimewaan seseorang hanya didasarkan atas keunggulan taqwanya.
Terma ketaqwaan dalam Islam menurut menunjuk pada sikap untuk mengapresiasi secara konsisten norma-norma ketuhanan dan norma-norma kemanusiaan, pada aktifitasnya dalam ibadah personal dan ibadahsosial. Pencapaian ketaqwaan ini bisa dimiliki atau diraih oleh perempuan dan laki-laki. Dan tidak shalatnya perempuan dalam masa menstruasi tidak harus mengurangi kualitas ketaqwaan dan potensi pribadinya.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa kepemimpinan yang didasarkan atas kriteria keunggulan laki-laki tersebut sesungguhnya adalah sesuatu yang relatif belaka dan sangat terkait dengan konstruksi sosial budaya suatu masyarakat. Pendasaran ketentuan pada konstruksi sosial tidak mungkin bisa diberlakukan secara tetap dan final, karena ia berdiri di atas sesuatu yang memungkinkan terjadinya perubahan dan perkembangan. Jadi kepemimpinan dan keunggulan laki-laki adalah ketentuan yang bersifat relatif dan bisa berubah atau diubah.
Perubahan sosial yang kita lihat dewasa ini menunjukkan tengah berlangsungnya proses dari tiada menjadi ada dan dari ada menuju proses menjadi. Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa perempuan dapat dinyatakan sah adanya untuk lebih unggul dari laki-laki dan untuk mengemban fungsi kepemimpinan dalam rumah tangga.
Adalah menarik untuk mengungkapkan bagaimana al-Qur’ân melalui ayat ini (QS.an-Nisa, 34) tengah berdialog dan mengapresiasi realitas sosial. Ini diketahui misalnya dalam latarbelakang turunnya ayat ini (sabab nuzûl). Imam as-Suyuthi menyampaikan sejumlah riwayat, antara lain dari Hasan melalui Asy’ats bin Abd al-Malik bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi saw mengadukan tindakan suaminya yang memukulnya (menampar). Nabi saw dengan tegas menyarankan pembalasan yang setimpal (qishâsh). Tetapi ayat kemudian turun, maka perempuan tersebut kembali tanpa membalasnya.
As-Suyuthi juga menyebut riwayat yang sama dari Hasan melalui Qatadah. Begitu ayat ini turun Nabi mengatakan: “Aku menghendaki sesuatu tetapi Allah menghendaki yang lain”. Sementara an-Nisaburi mengemukakan riwayat yang lain. Katanya, dari Muqatil, ayat ini turun untuk merespon Sa’ad bin ar-Rabi’ dan isterinya Habibah binti Zaid bin Abu Hurairah. Habibah membangkan kepada suaminya (nusyuz) (menolak perintah suami), lalu suami menamparnya. Ayah Habibah membawanya kepada Nabi saw, dan mengadukan masalahnya. Nabi menyuruhnya membalas suaminya dengan setimpal. Keduanya kembali menemui Sa’ad untuk membalas. Tetapi Nabi kemudian memanggilnya kembali. “Jibril datang menyampaikan wahyu al-Qur’ân ini” kata Nabi. Beliau kemudian mengatakan “aku menghendaki ini tetapi Allah menghendaki yang lain, kehendak Allah tentu lebih baik”.
Informasi as-Suyuthi dan an-Nisaburi di atas menggambarkan bagaimana sesungguhnya Nabi Muhammad menghendaki agar prinsip kesetaraan segera dan seketika itu juga dapat diimplementasikan, tetapi Tuhan mempunyai kebijakan lain. Pembalasan itu belum saatnya dilakukan. Jika kita melihat ayat ini secara utuh akan nampak bahwa kebijakan Tuhan ini adalah ingin agar penerapan prinsip kesetaraan dilakukan secara bertahap dan tidak seketika. Tindakan terhadap perempuan yang nusyuz dilakukan dengan membalik tradisi. Jika dalam tradisi Arab pada saat itu tindakan terhadapnya pertama-tama dengan memukul, merendahkan dan bahkan melukainya, maka al-Qur’ân menginginkan tindakan dengan proses bertahap; menasehati, membiarkannya tidak digauli dan baru kemudian memukulnya.
Tentang pemukulan sebagaimana disebutkan al-Qur’ân, Nabi saw kemudian menjelaskannya agar tidak boleh keras-keras apalagi sampai melukai. Nabi sendiri tidak pernah menyakiti para isterinya apalagi melakukan pemukulan. Beliau juga menyindir: “Para suami yang memukul isterinya bukanlah orang baik di antara kamu”. Bahkan beliau juga melarangnya: “Janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang perempuan”.
Lagi-lagi kita harus mengatakan bahwa cara-cara menghukum seperti yang dikemukakan al- Qur’ân ini adalah cara-cara yang sesungguhnya telah mereduksi cara-cara yang berlaku dalam tradisi Arab ketika itu. Untung saja cara-cara ini tidak sampai mendapatkan resistensi dan protes yang besar dari masyarakat. Dalam bahasa Nashr Abu Zaid dikatakan: ”Adalah pasti bahwa penolakan Nabi terhadap tindakan suami tersebut memperlihatkan dengan jelas penegasan prinsip kesetaraan. Tetapi karena audiensnya tidak/belum mampu memikul prinsip kesetaraan tersebut maka Tuhan menurunkan ayat ini”.
Dengan logika mereduksi tradisi tersebut kita dapat memahami bahwa al-Qur’ân sesungguhnya tidak menyetujui pemukulan dan tidak menghendaki kekerasan terhadap perempuan apapun bentuknya dan tindakan tersebut pada saatnya harus dihapuskan. Pada saat kita sekarang ini pemukulan merupakan suatu tindakan yang dianggap keliru atau salah oleh siapapun baik laki-laki atau perempuan. Konflik apapun dalam hubungan suami isteri harus diselesaikan dengan cara-cara yang lebih beradab, demokratis dan tanpa kekerasan.
Dengan membaca sabab nuzûl yang variatif di atas, mayoritas ahli tafsir biasanya kemudian mengemukakan teori yang terkenal; “al- ‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh lâ bi khushûsh as sabab” (yang harus diperhatikan dan diterapkan adalah bentuk kata yang general/umum itu dan bukannya memperhatikan sebab atauperistiwa/kasus yang melatari turunnya ayat).
Dalam hal QS. al Nisa 34 tersebut peristiwa yang dimaksud adalah pemukulan terhadap seorang perempuan bernama Habibah bint Zaid oleh suaminya; Sa’ad bin Rabi’. Meskipun demikian Berdasarkan kaedah hukum ini, hukuman pemukulan juga bisa diberlakukan pada kasus perempuan mana saja yang dianggap tidak taat kepada suaminya. Itulah sebabnya kita menemukan dalam pandangan para ahli tafsir dan ahli fiqh sebagaimana termuat dalam kitab-kitab mereka sebuah keputusan hukum yang membenarkan hukuman-hukuman terhadap perempuan yang nusyuz tersebut sebagai berlaku general dan untuk segala konteks.
Perlu dikemukakan pula bahwa mayoritas ahli tafsir hukum cenderung berpendapat bahwa jika terjadi perbedaan atau pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum (prinsip umum atau hukum universal) dengan ketentuan hukum yang bersifat khusus, spesifik, partikular maka yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum. Ini berbeda dengan pandangan Abu Ishak asy-Syathibi. Ia berpendapat sebaliknya. Yakni bahwa “ketentuan umum atau hukum universal bersifat pasti sementara petunjuk-petunjuk khusus bersifat relatif. Karena itu keumuman atau universalitas harus didahulukan. Aturan-aturan yang bersifat khusus tidak membatasi atau mengkhususkan aturan-aturan yang bersifat umum tetapi bias menjadi pengecualian-pengecualian yangbersifat kondisional bagi hukum-hukum universal”.
 Menuju Cita-cita Agama: Keadilan
Ayat-ayat al-Qur’ân yang membicarakan hubungan laki-laki perempuan danlebih khusus lagi hubungan suami-isteri berikut hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam perkawinan mereka adalah ayat-ayat khusus, atau partikular. Mengamati ayat-ayat ini secara lebih kritis akan mendapatkan suatu pandangan bahwa teks-teks tersebut tengah mengatur relasi suami-isteri dalam konteks Arabia ketika itu secara lebih baik daripada aturan-aturan masyarakat yang sama sebelumnya.
Dengan begitu, ayat-ayat tersebut perlu dipahami sebagai sedang berjalan dalam alur dan proses peralihan dan perubahan dari kebudayaan lama ke arah kebudayaan baru yang jauh lebih baik. Al- Qur’ân sendiri menyebut dirinya sebagai “yukhrijuhum min azh-zhulumâtila an-nûr” (mengeluarkan manusia dari kehidupan yang gelap menuju kehidupan yang terang benderang). Dengan mendasarkan diri pada basis metodologi pembacaan teks secara kontekstual di atas kita dituntut untuk terus mengembangkannya untuk konteks kita hari ini atau konteks yang lain selanjutnya.
Pengembangan tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga cita-cita agama mewujud dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita Islam sebagai sudah dikemukakan adalah keadilan, kehormatan, keindahan (kearifan) dan kemaslahatan. Ibnu al-Qayyim dengan tegas mengatakan: “Syarî’ah dibangun di atas dasar kearifan dan kemaslahatan manusia untuk kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat. Syarî’ah adalah keadilan, kerahmatan, kemaslahatan dan kearifan. Setiap keputusan yang menyimpang dari ini semua bukanlah bagian dari agama meskipun diupayakan melalui cara-cara intelektual”.
Pada bukunya yang lain Ibnu Qayyim menyatakan: “Allah mengutus para Nabi dan menurunkan kitab-kitab- Nya untuk menegakkan keadilan di antara manusia. Keadilan adalah pilar langit dan bumi. Jika tanda-tanda keadilan telah nampak melalui cara apapun maka disanalah hukum Tuhan”. Imam al-Ghazali sebelumnya sudah menyatakan kesimpulan mengenai tujuan atau visi agama melalui apa yang disebutnya “kemaslahatan”.
Pengertian kemaslahatan versi al-Ghazali pada intinya adalah penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu agaknya kita perlu mempertanyakan kembali apakah perempuan harus menjadi makhluk domestik atau sah menjadi makhluk publik dan apakah hak-hak perempuan masih harus separoh hak laki-laki atau suami dan lain-lain. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini sudah saatnya kita perlu mengevaluasi kembali tafsir teks-teks keagamaan yang kita anut selama ini berdasarkan nilai-nilai fundamental Islam dan kehidupan kontemporer yang demokratis dan menjunjungtinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan di atas. seperti sekarang ini.
Menagih Tanggung Jawab Negara
Negara dibentuk dengan misi utamanya untuk menciptakan masyarakat ke arah yang lebih baik, dari segi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. Negara harus menjadi penggerak bagi meningkatnya taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, tercapainya tertib sosial, terjaminnya keamanan warga. Secara ekonomis, negara tak didirikan untuk memuaskan kaum borjuis-kapitalis dan kaum feodal. Negara adalah penjamin keamanan seluruh masyarakat. Negara mesti hadir sebagai penghalau dan penangkal ketika kekerasan berlangsung. Negara pun harus mendorong kian tegaknya hak asasi manusia dan terlaksananya tata kehidupan yang damai. Karena itu, negara tak boleh tampil bak sesosok hantu yang menakutkan masyarakat. Negara bukan predator yang memangsa masyarakatnya sendiri dan bukan pula sebagai buldoser yang bisa membumi-hanguskan warganya. Negara tak boleh merampas hak-hak asasi yang lekat dalam diri setiap warga negara, karena hak-hak tersebut sudah ada sebelum negara berdiri. Dalam UUD 1945 pasal 28I ayat (4) disebutkan, “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Itulah tanggung jawab dan kewajiban negara terhadap warga yang ada di dalamnya.
Namun, harus segera ditegaskan bahwa kedaulatan negara tidaklah mutlak, bukan tanpa batas. Di negara-negara yang menjunjung demokrasi sering dikatakan, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat dan bukan di tangan negara. Rakyatlah yang berkuasa dan bukan negara. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 bab I ayat (2) menyebutkan, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu rakyat memiliki wewenang untuk selalu memberikan kontrol dan kritiknya sekiranya negara melakukan penyimpangan. Di negara demokrasi, sejumlah regulasi dan kebijakan menindas yang dikeluarkan oleh negara harus dikoreksi. Negara tak bisa dibiarkan bertindak sendirian di dalam membuat undang-undang atau peraturan tanpa menyertakan masyarakat luas. Dan keterlibatan masyarakat ini cukup penting terutama untuk membatasi kekuasaan negara. Sebab, kekuasaan negara yang terlampau kuat, besar kemungkinan akan memunculkan penyalahgunaan kekuasaan.
Telah terbukti bahwa kekuasaan Gereja (negara) di Eropa pada tahun 1517 yang sangat kuat mengakibatkan sejumlah penyelewengan dan abuse of power. Kekuasaan dijalankan secara totaliter dan untuk meraih tujuan-tujuan ekonomi-duniawi. Kondisi ini melecut Martin Luther untuk bangkit melakukan kritik. Bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang berbasiskan agama sekalipun tetap harus dikontrol. Walau raja mendapat legetimasi kekuasaannya dari Gereja, ketika si raja menginjak hak-hak asasi warga maka ia bukan hanya boleh dikritik melainkan memang seharusnya dikritik. Saat itulah mulai muncul wacana tentang hak warga negara untuk mengajukan kritik, mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah yang sewenang-wenang.
Fakta ini hendaknya menyadarkan kita bahwa kepercayaan tak bisa sepenuhnya diberikan kepada negara, sekalipun negara itu didirikan berdasarkan klaim keagamaan yang pekat. Negara boleh saja dibaptis oleh agama. Tapi, ketika negara telah bertindak arogan dan zalim, maka rakyat tetap punya hak untuk memakzulkan rajanya. Sebab, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa persekongkolan negara dan agama tak menjamin negara akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menggembirakan terutama buat warga yang berada pada lapis terbawah. Bahkan, amat boleh jadi agama dibajak sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, merawat otoritarianisme dan totalitarinisme. Firman-firman Tuhan kerap dihadirkan untuk mengukuhkan hegemoni dan oligopoli. Tuhan pun sering diatas-namakan untuk membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara. Dalam negara fasis-totaliter, kitab suci amat rentan dijadikan kedok oleh raja yang tiran dan dispotik.
Oleh karena itu, dalam konteks negara demokrasi, adanya masyarakat sipil yang kritis menjadi penting. Yaitu sebentuk masyarakat yang tahu akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sekaligus mengetahui apa kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap warganya. Warga negara yang hanya mengetahui kewajibannya dan tidak mengetahui haknya adalah tipikal masyarakat yang lemah. Jika hanya mengetahui hak dan tidak mengetahui kewajiban, itu adalah prototipe rakyat yang anarkis. Begitu juga dengan negara. Ia harus mengetahui kewenangannya sehingga tidak mudah melakukan intervensi terhadap sesuatu yang berada di luar wewenangnya. Negara harus tahu betul mana-mana areal yang bisa diintervensi oleh negara dan mana pula yang tidak. Tanpa ada pengetahuan semacam itu, negara akan mudah sekali terjatuh dalam tindakan zalim.
 Islam Agama Pembebasan
Islam hadir untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi sosial yang timpang. Islam menolak segala bentuk tirani, eksploitasi, dominasi, hegemoni dalam pelbagai aspek kehidupan; ekonomi, politik, budaya, gender, dan lain-lain. Dan Alquran menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. Allah SWT berfirman dalam surat al-Nisa`[4] ayat (75) yang berbunyi, “mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. Alquran juga berbicara tentang kewajiban membebaskan kaum mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan), menyantuni anak yatim, fuqara` dan masakin, membela budak-budak belian, para tawanan.
Agenda itulah yang diusung oleh seluruh nabi dan rasul Allah. Semua Nabi Israel digambarkan di dalam Alquran sebagai pembela mustadh’afin dalam menghadapi kelompok mustakbirin, yakni orang-orang kaya yang sombong dan para penguasa suatu negeri yang congkak. Karena itu, Nabi Israel terkemuka, Musa digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas (bangsa Israel) dari penindasan Fir’aun (mustakbir). Simpati Tuhan ditunjukan kepada orang-orang yang tertindas itu. Allah berfirman, “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi” (QS, 28: 5). Menurut Alquran, orang yang tidak menyantuni kelompok dhu’afa atau mustadh’afin disebut sebagai orang yang mendustakan agama (yukadzdzibu bi al-din). Kadang-kadang Alquran menyebut mereka sebagai pencemooh (al-huzamah).
Sepanjang hidupnya, Rasulullah selalu berpihak kepada kelompok-kelompok lemah dalam menghadapi kelompok-kelompok kuat Kita tahu bahwa saudagar-saudagar kaya di Mekah banyak membuat konglomerasi antarsuku dan memonopoli perdagangan di kawasan kerajaan Byzantium. Hal ini mereka lakukan demi mengeruk keuntungan tanpa mau mendistribusikannya kepada kelas mustadh’afin. Mereka menyombongkan diri dan mabuk dengan kekuasaan. Mereka melanggar norma-norma kesukuan dan tidak menghargai fakir-miskin. Dalam kondisi yang demikian, Nabi datang membawa risalah (message) baru. Rumusan la ilaha illa Allah yang didakwahkannya, dengan sendirinya memiliki implikasi-implikasi sosial-ekonomi. Islam mencela penumpukan kekayaan, yang berputar hanya di tangan segelintir orang (oligarki). Secara kategoris, Islam memang mengakui hak perorangan untuk mengakses kekayaan, tapi dengan tegas Islam melarang terjadinya konsentrasi dan monopoli terhadapnya, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Pada waktu kekayaan melebihi batas sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, ketika itulah golongan yang memonopoli dan mengkonsentrasikannya menjadi musuh-musuh Islam.
Nabi melalui dakwahnya menyeru kepada saudagar-saudagar kaya Mekah dengan kalimat yang tegas. Alquran menyebutkan, “Mereka mengumpulkan kekayaan dan menimbunnya. Mereka mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Mereka akan dilontarkan ke dalam huthamah. Apakah huthamah itu ? Yaitu api yang dinyalakan Allah (QS, 104: 2-6). Juga di dalam Alquran (102: 1-8) disebutkan bahwa, “perlombaan menimbun harta menjadikan kamu lalai, sampai kamu masuk keliang kubur. Tapi tidak, kamu akan tahu !… Kemudian pada hari itu kamu akan ditanyai tentang kenikmatan-kenikmatan duniawi. Pada saat itu telah terjadi monopoli dan oligarki ekonomi yang menyebabkan kelompok-kelompok miskin kian tersuruk dalam kemiskinannya. Kaum miskin susah untuk bangkit dari keterpurukannya itu karena sumber-sumber perekonomian telah dikuasai oleh segelintir orang.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang oligarki ekonomi. Memang, rumusan Alquran lebih bersifat teologis, seperti pada umumnya sistem berfikir yang dirumuskan pada masa kenabian. Akan tetapi, semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Dengan struktur ekonomi yang “tidak beres” ketika itu maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaannya di jalan Allah. Maka ditetapkanlah ketentuan zakat dalam Islam. Zakat bukan merupakan kebaikan hati orang kaya kepada orang miskin. Zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh si kaya, karena itu dapat dituntut oleh kaum miskin, atau dipaksakan pelaksanaannya oleh negara. Zakat, seperti digariskan Alquran, bertujuan untuk meruntuhkan tumpukan harta kelompok kaya. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.
Ini sebabnya Islam menjadi agama yang sangat populer di kalangan akar rumput. Ketika Nabi berada di Mekah, hanya dua puluh lima saja dari seluruh pengikutnya berasal dari kelompok kaya dan bangsawan. Selebihnya, puluhan dari kelompok-kelompok miskin. Dikisahkan bahwa yang pertama masuk Islam, kebanyakan, adalah orang-orang miskin, orang-orang gembel, para budak, dan sebagainya. Para konglomerat Mekah enggan masuk ke dalam Islam karena agama yang dibawa oleh Muhammad SAW dipenuhi oleh kalangan fakir-miskin. Aquran menyebutkan, “Apabila dikatakan kepada pembesar-pembesar Quraisy itu, Berimanlah kamu kepada Allah seperti manusia yang lain beriman, mereka menjawab: Apakah kami harus beriman seperti berimannya kelompok sufaha` (orang-orang bodoh) (QS, 3:13). Alquran kemudian menyindir, “Ketahuilah, sesungguhnya mereka sendirilah sufaha, tetapi mereka tidak mengetahuinya”. (QS, 2:13).
Gerakan pembebasan Islam itu tidak hanya difokuskan pada keadilan di bidang ekonomi, melainkan juga pada bidang keadilan dan kesetaraan gender. Di bawah kepemimpinan Muhammad SAW, Islam juga mengarahkan upayanya pada pembebasan perempuan. Mereka yang dalam masyarakat Arab sebelum Islam diperlakukan hampir seperti barang atau benda dan dapat diwaris, oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi kedudukan yang sama dengan kaum pria di hadapan Tuhan, tidak dapat diwaris dan sebaliknya berhak menerima warisan. Islam melarang penguburan anak perempuan hidup-hidup yang sebelum itu merupakan bagian dari budaya Arab. Bangsa Arab yang sebagian besar ummi (tidak dapat membaca dan menulis), oleh Islam diwajibkan untuk terus menerus menuntut ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu yang lain, sejak lahir sampai masuk liang lahat, meski pergi ke tempat yang jauh seperti negeri Cina. Kewajiban itu berlaku secara sama untuk kaum pria dan kaum perempuan.
Ketika Islam datang, perbudakan merupakan lembaga yang telah membudaya, tidak saja di Arabia tetapi juga merata di bagian-bagian dunia yang lain. Islam mengimbau kepada para pemilik budak untuk bersikap manusiawi terhadap budak-budak mereka, serta menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang memerdekakan budak mereka. Bahkan, hukum pidana Islam mengharuskan pelaku tindakan pidana tertentu untuk memerdekakan budak (tahrir raqabah) sebagai bagian dari pembayaran “denda”. Banyak di antara budak yang telah dimerdekakan itu menjadi sahabat-sahabat dekat Nabi. Salman al-Farisi dan Bilal bin Rabah--yang dikenal sebagai muadzdzin al-Rasul, adalah dua dari mereka.
Singkatnya, pada era Muhammad SAW, kehadiran Islam merupakan sebuah revolusi yang telah berperan secara signifikan dalam panggung sejarah kehidupan umat manusia. Islam adalah penanda perubahan, bukan hanya dalam tataran teologi melainkan juga dalam bidang sosial dan ekonomi. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality, al-musawah), dan keadilan sosial (social justice). Semasa Nabi masih hidup, Islam dirasakan sebagai kekuatan yang revolusioner. Islam hadir untuk mewujudkan keadilan sosial, menciptakan kesejahteraan masyarakat, menghapuskan monopoli, mengambil hak-hak kaum miskin, memperkuat orang-orang lemah, dan menjadikan manusia sama-setara “seperti gerigi sisir”, tak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Dalam konteks keindonesiaan menghidupkan kembali semangat dan agenda pembebasan itu menjadi sangat relevan. Tugas pembebasan itu bukan hanya tanggung jawab komunal umat Islam Indonesia yang sebagian besar memang berada di level bawah, melainkan justeru meruapakan tanggung jawab negara. Sebagaimana telah tercantum dalam Undang-Undang dasar (UUD) 1945, ada beberapa tugas negara yang relevan terkait dengan agenda pembebasan ini. Di antaranya adalah: Pertama, memperbaiki pereokonomian rakyat dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “ perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 34 ayat (2) dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Bahkan, dalam ayat (1) pada pasal yang sama disebutkan, fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (3) menyatakan, “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa negara tidak bisa tinggal-diam menghadapi penderitaan rakyat dan kemiskinan yang melilit warga negara. Angka pengangguran yang setiap tahun terus meningkat mestinya menjadi perhatian dan prioritas utama pemerintah. Pemerintah perlu membuka sebanyak mungkin lapangan pekerjaan sehingga dapat menyerap para penganggur itu. Sebab, pengangguran absolut yang tak tertangani dengan baik sangat potensial berdampak pada semakin tingginya angka kejahatan dan tindak kriminal seperti perampokan, pembalakan, pencopetan, dan sebagainya. Orang akhirnya cenderung menghalalkan segala cara untuk mengakhiri kemiskinan dirinya. Di sini benar ketika Nabi Muhammad menyatakan bahwa kemiskinan akan menyebabkan manusia semakin terjauh dari kebenaran (kadal fakru an yakuna kufran). Kemiskinan akan menghalangi seseorang dari upaya-upaya untuk meningkatkan dirinya menuju martabat kemanusiaan yang lebih tinggi.
Kedua, pemerintah harus menyediakan lembaga pendidikan yang baik. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 31 ayat (3) ditegaskan bahwa pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Ayat (4) dalam pasal yang sama, “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Demikian tegas konstitusi kita menyatakan bahwa tersedianya lembaga pendidikan yang baik dan bermutu itu merupakan sebuah keniscayaan. Melalui pembenahan pendidikan ini diharapkan angka buta huruf yang masih tinggi di Indonesia bisa dikurangi dan secara bertahap dapat dihapuskan. Dengan pendidikan, keterbelakangan yang menjangkiti sebagian warga negara Indonesia bisa terus diminimalkan. Itulah salah satu tugas pemerintah di dalam membebaskan kelompok-kelompok atau warga negara yang tertindas, baik secara ekonomi maupun sosial.
Indonesia juga termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani beberapa konvensi PBB terkait dengan isu kesetaraan dan pembebasan perempuan dan anak dari tindakan-tindakan diskriminatif, penganiayaan dan segala bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Sebagai penanda tangan, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk mengembangkan konvensi-konvensi itu ke dalam hukum-hukum nasional. Kini sejumlah konvensi itu telah diratifikasi.
Antara lain, pertama, UU No. 7/1984 tentang pengesahan ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang terdiri 16 pasal. Beberapa pasalnya adalah sebagai berikut: Pasal 1 mengemukakan pengertian diskriminasi pada perempuan; Pasal 2 mengemukakan Langkah kebijakan untuk menghapus diskriminasi; Pasal 3 berbicara tentang jaminan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria; Pasal 4 mengatur peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan; Pasal 5 mengungkap peraturan tentang jenis kelamin dan stereotipe; selanjutnya Pasal 6 berbicara mengenai perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran; Pasal 7 tentang hak yang sama di bidang politik dan kemasyarakatan; Pasal 8 tentang kewajiban negara untuk berpartisipasi di tingkat international terkait dengan upaya pengahpusan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan; Pasal 9 tentang hak yang sama sebagai warga negara; Pasal 10 bicara tentang hak yang sama bidang pendidikan; Pasal 11 tantang hak untuk bekerja; Pasal 12 tentang Hak yang sama dalam mendapatkan layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana; Pasal 15 tentang hak yang sama di muka hukum.
Kedua, UU No. 1 tahun 2000 tentang ratifikasi konvensi ILO No. 128 tentang pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak. Ketiga, Keppres No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi konvensi hak anak (KHA), terdiri dari 45 pasal, yang mengharuskan negara untuk segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegak penculikan anak dan penjualan anak untuk tujuan dan dengan bentuk apapun. Keempat, UU No. 5 tahun 1998, terdiri dari 33 pasal, tentang ratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Kelima, UU No. 9 tahun 1999, terdiri dari 25 pasal, tentang ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Keenam, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terkait dengan hak anak, pasal 65 dalam UU ini menyatakan, “setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Ketujuh, Indonesia sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang tunduk pada nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut, juga sekaligus telah meratifikasi tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam konteks keindonesiaan, beberapa Undang-undang dan kebijakan lainnya telah digulirkan dalam upaya mengurangi segala bentuk tindakan diskriminasi dan kekerasan-kekerasan lainnya terhadap perempuan. Antara lain UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pencegahan Perdagangan Orang, dan UU Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Disamping itu, pemerintah juga membentuk Komisi Nasional Perempuan, dan Kementrian Negara bidang Pemberdayaan Perempuan. Hal ini diikuti oleh seluruh Pemerintah Daerah dengan membentuk organisasi khusus baik setingkat Biro (Biro Pemberdayaan Perempuan) maupun setingkat Dinas atau lainnya. Sedangkan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak di isu kekerasan terhadap perempuan kini tersebar di seluruh Indonesia dan jumlahnya berdasar data Komnas Perempuan Tahun 2002 saja sudah lebih dari 200 lembaga - suatu gerakan yang cukup massif dan mendapat respon sangat baik dari masyarakat. Ini menandakan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan berupa kesetaraan gender adalah nilai-nilai kemanusiaan universal yang kebenarannya tak dapat dibantah.

Daftar Pustaka
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme;
2. http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=41%3Agender-equality-dan-hermeneutika-fenomenologi-&catid=21%3Aarticle&Itemid=215&lang=in
3. K.H. Husein Muhammad., Tafsir Al-Qur’an dalam Perspektif Perempuan. 2004. Fahmina Institute;
4. Abd Moqsith Ghazali., Menagih Tanggung Jawab Negara. 2004. Fahmina-Institute;
5. Komnas Perempuan. Peta Kekerasan Perempuan di Indonesia. 2002. Jakarta;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar