Selasa, 09 Februari 2010

aSY'ARIYAH & aL-mATURIDIYAH, Pertarungan antara Rasionalisme dgn Literalisme

ASY’ARIYAH & AL-MATURIDIYAH
PERTARUNGAN ANTARA RASIONALISME DAN LITERALISME
Oleh: Ipah Jahrotunasipah, S.Pd.



 LATAR MASALAH

Kaum Muslimin generasi awal memahami Islam apa adanya sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Persoalan-persoalan yang kurang dipahami, cukup ditanyakan kepada Nabi untuk diminta penjelasannya; pengetahuan yang diterima dari al-qur’an cukup diyakini dengan penuh keimanan; tidak ada analisis atau pemikiran-pemikiran yang bersifat filosofis;
Pasca Nabi wafat, Abu Bakar yang shaleh, meski menghadapi kelompok yang tidak taat untuk mengeluarkan zakat, kelompok yang mengaku Nabi Palsu, dll., tetap pada corak pemikiran awal semasa Nabi masih hidup.
Berbeda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab mulai melakukan banyak ijtihad dalam tata kelola pemerintahannya, semata untuk kemashlahatan bersama. Namun tak pelak, usahanya itu dianggap telah keluar dari teks. Begitu juga yang dilakukan Utsman bin Affan. Utsman dianggap tidak adil dalam pemerintahannya. Meski pemikiran Umar dan Utsman ini tidak didasarkan pada kerja-kerja analisis dan filosofis, namun perbedaan pandangan ini dicurigai mengandung muatan politik kekuasaan. Dampaknya, benih kekisruhan politik mulai tumbuh. Sikap tribalisme atau kesukuan mulai dimunculkan, terutama antara Keluarga keturunan Bani Hasyim dengan Bani Umayyah; meski keduanya adalah keturunan langsung dari Abd. Manaf bin Qushai;
Pertarungan politik antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah mengalami puncaknya pada perang shiffin. Peristiwa ini melahirkan 3 kelompok besar yaitu kelompok pengikut setia Ali bin Abi Thalib, kelompok Muawiyah dan Kelompok Khowarij; ke-3 kel politik ini kemudian mengkristal menjadi 3 corak pemikiran keagamaan, secara sederhana yaitu syi’ah, khowarij, dan Murji’ah;
Pada saat yang sama, Ekspansi wilayah kekuasaan Islam antara lain ke Persia, Syiria, Granada telah menyebabkan terjadinya persentuhan dengan budaya lain dan ilmu-ilmu pengetahuan lain, terutama soal keagamaan dan filsafat; Misalnya Persia menganut agama Zoroaster dan Mazdakiah menganut teori dualisme Cahaya dan Gelap. Pertarungan antara baik dan buruk; Teori ini banyak memperngaruhi pemikiran keislaman melalui tokoh-tokohnya seperti Ibnu al-Muqaffa (727M – 108 H), Al-Ja’d Ibnu Dirham (116 H – 735M), Salih bin al-Quddus (126H – 734M), dan lain-lain.
Islam juga bersentuhan dengan para mantan penganut agama Yahudi dan Kristen. Ajaran yahudi tentang cerita-cerita israiliyat banyak mewarnai hadits-hadits Nabi, tentang salah satu sifat tuhan yang al-tasybih dan at-tajsim (antropomorfisme – membadankan Tuhan) (mujassimah); bahkan Abd Allah bin Saba melontarkan isu ketuhanan Ali bin Abi Thalib. Sekte-sekte agama Nasrani yg tersebar di daerah-daerah Syam, Mesir dan Maghrib. Yaitu al-Malkaniyah yg menganut trinitas;
Al-Nastariyah di Meosul, Irak dan Persia yang memahami al-Masih adalah manusia yang mengalami “kenikmatan ilahi” yang kemudian Tuhan berhubungan dengannya melebihi Nabi yang lain; dan ke-3 adalah al-Ya’qubiyah di Mesir, Naubah dan Habsyah meyakini bahwa Tuhan dan al-Masih adalah satu substansi.; Pandangan-pandangan mereka masuk ke dunia Islam melalui a.l. Santo (al-Qds) Yohanes atau Yahya Al-Dimisyqi (127 H – 749M), Theodore Abu Qurrah (204H – 820M) dan Yahya bin Adi (396H – 984M). Tokoh pertama banyak mengungkap isu jabar dan ikhtiar (determinisme dan indeterminisme); sedangkan ke-2 tokoh lainnya banyak berpartisipasi dalam menerjemahkan peradaban Suryani dan Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Bani Abbasiyah;
Beberapa buku yang berhasil diterjemahkan, khususnya mengenai ide ketuhanan ini adalah Temaus karya Plato; Metafisika atau Kitab al-Huruf karya Aristoteles; Tasuat (Enneades) karya Plotinus – yang secara salah dianggap karya Aristoteles dengan judul Kitab al-Rububiyah (Theologia).
Berikutnya, ditutupnya sekolah filsafat di Athena pada tahun 529 M juga telah menyebabkan guru-gurunya banyak tersebar dan sebagaiannya menjadi guru di madrasah-madrasah (sekolah-sekolah lain) yang melestarikan ontologi filsafat yunani dan memadukannya dengan agama. Jadi, sebelum terjadi gerakan penerjemahan secara besar-besaran, sebagian muslim sudah mengenal corak pemikiran tsb baik melalui lisan maupun tulisan dalam bahasa suryani.
 AL-JA’D & AL-JAHM: PELETAK DASAR FILSAFAT KETUHANAN
Al-Ja’d bin Dirham (117H – 735M); Lahir di Khurasan, tempat pertemuan peradaban Persia, India dan Yunani; tak pelak, Ja’d terpengaruh o ajaran-ajaran mazdakiah dan Mana’iyah tentang dualisme dan antropomorfisme; Ia bermukim di Damaskus untuk beberapa waktu lamanya. Di sini ia banyak terlibat diskusi tentang al-Jabar dan al-Ikhtiyar (Jabariyah dan Qadariyah). Lalu pindah ke Kufah dan di sini ia bertemu dengan Al-Jahm bin Abi Safwan yang kemudian menjadi muridnya yang paling baik;
Al-Ja’d menjadi tokoh penting dalam mempopulerkan pemikiran Jabariyah di Basrah yang intinya menafikan adanya perbuatan otonom seorang hamba dengan menyandarkan semuanya kepada Allah. Dalam pendapatnya, manusia digambarkan tidak memiliki sifat kesanggupan yang hakiki sehingga segala perbuatannya (baik ketaatan atau kemaksiatan) pada dasarnya adalah keterpaksaan (majburah) karena tidak berasal dari kekuasaan, kehendak maupun usahanya sendiri.
Pendapatnya ini dipengaruhi oleh Aristotelianisme, bagian dari paham Aristoteles bhw Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan2 umum tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus; begitu juga dengan hukum alam, ia bersifat impersonal dan pasti. Baginya, Tuhan adalah kekuatan maha dahsyat, namun tak berkesadaran kecuali hal-hal yang sifatnya universal.
Ide jabariyah ini kemudian terpelihara dalam gerakan pemikiran Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan aliran Jahmiyah. Di samping menerima ide jabariyah, Jahm juga mengembangkan pemikiran-pemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka bersifat fana, iman adalah ma’rifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari kiamat.
Al-Jahm bin Safwan (127H -745M), juga orang Khurasan. Tapi ia lahir di Samarqand. Ia lebih populer dan lebih berpengaruh ketimbang gurunya Al-Ja’d bin Dirham. Ketika di Balkh, ia bertemu dengan Muqatil bin Sulaiman (150H-767M), seorang mufassir terkenal yg meyakini cerita-cerita israiliyat serta berpandangan bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat antropomorfisme;
Al-Ja’d & al-Jahm tersebut, keduanya hidup pada era Umayyah yang sama-sama berbeda pendapat dg khalifah. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri. Sedang al-Jahm meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani Ummayah; pendapat lain keduanya sama-sama disiksa lalu dibunuh;
Keduanya berusaha memfilsafatkan ide ketuhanan yang berlandaskan pada prinsip yang jelas yaitu al-Tauhid dan al-Tanzih. Mereka berjuang keras untuk menjauhkan Allah dari kesan berjumlah banyak sekaligus mengingkari dari sifat-sifat yang tidak sesuai dengan yang disifatinya. Mereka sama-sama menyucikan Allah dari hal yang sifatnya temporal dan berubah; mereka dikenal dengan golongan An-Nufat (Pengingkar sifat2 Tuhan) atau al-Mu’athilah, pembebas Tuhan dari sifat-sifat;
Fahm Jabariyah ini berkebalikan dengan faham Qadariyah; yang dikembangkan antara lain oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi; Ia menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Jadi, perbuatan manusia berada di luar ruang lingkup kekuasaan atau campur tangan Allah.
Mereka hidup sezaman dengan Wasil bin Atha (130H – 848M) dan ‘Amr bin Ubaid (144H – 762M); Ide-idenya banyak mempengaruhi kedua tokoh ini;

 MU’TAZILAH
Mu'tazilah muncul di Basrah-Iraq, dipelopori oleh Wasil bin Atha (80-131 H) yg memisahkan diri dari gurunya Hasan al Basri karena perbedaan pendapat keduanya. Penalaran filosofis Wasil bin Atha ini banyak dipengaruhi oleh Al-Ja’d & Al-Jahm. Tetapi ia menentang faham Jabariyah yang dikembangkan oleh keduanya; sebaliknya, ia malah membela faham qadariah;
Faham Qadariyah ini secara ushul bermula dari kalangan khowarij; meski secara riil, kalangan khowarij ini sudah bubar; Wasil bin atha berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat tidak mukmin dan tidak kafir (manzil baina manzilatain) yang berarti fasik. Sedangkan Hasan al-Basri berpendapat mereka tetap mukmin.
Ciri Mu'tazilah :
- Tuhan tidak mempunyai sifat
- Manusia membuat pekerjaannya sendiri konsep takdir = Qadariah
- Tuhan tidak boleh dilihat dengan mata dalam Syurga
- Orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara 2 tempat
- Mikraj nabi Muhammad SAW hanya dengan roh sahaja
- Al Quran Makhluk
- Kasarnya memperTuhan Akal
Secara harfiah, mu’tazilah berarti “yang memisahkan diri”. Yaitu, pemisahan diri Washil bin Atha (i’tizal) dari gurunya (Hasan al-Basri) karena tidak sependapat dalam persoalan pelaku dosa besar. Wasil berpandangan bahwa pelaku dosa besar adalah fasik yang kelak di akhirat akan diletakkan oleh Allah di suatu posisi antara surga dan neraka (al-manzilah bayn al-manzilatayn). Faham ini lantas menjadi salah satu dari lima doktrin sentral Mu’tazilah yang dikenal dengan istilah al-mabadi’ al-khamsah (asas lima), yaitu meliputi: al-tauhid (keesaan Tuhan), al-’adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah bayn al-manzilatayn, dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (menyeru pada kebajikan dan mencegah kemunkaran).
Kelima asas ini sebenarnya adalah hasil dari serangkaian perdebatan sengit mereka dengan lawan-lawan pemikirannya. Prinsip tauhid misalnya adalah bentuk penolakan mereka terhadap faham mujassimah dan musyabbihah. Sementara prinsip keadilan untuk menolak faham Jahmiyah, prinsip janji dan ancaman untuk membantah faham Murji’ah, serta prinsip manzilah untuk menolak faham Murji’ah dan Khawarij sekaligus.
Aliran ini dalam banyak pemikirannya menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan utama tentang kewajiban serta kebaikan dan keburukan, sedangkan wahyu sebagai pendukung kebenaran akal. Apabila terdapat pertentangan antara keduanya, maka wahyu perlu ditakwilkan (dengan penalaran rasional) sehingga sesuai dengan ketetapan akal. Beberapa produk pemikiran yang akrab diterima di kalangan Mu’tazilah antara lain menyebutkan bahwa Allah mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, tidak ada siksa kubur, al-Qur’an adalah makhluk, keniscayaan atas Allah untuk berbuat baik dan yang terbaik (al-shalah wa al-aslah), dan manusia bersifat otonom dalam tindakannya dengan qudrah yang diberikan Allah kepadanya.
Dalam perkembangannya, Mu’tazilah yang telah muncul sejak masa Umayyah ini pada mulanya bergerak di jalur kultural dengan fokus aktivitas berupa dialektika dan pengembangan pemikiran ilmiah. Karakter ini pula yang membantunya dapat bergerak leluasa karena bukan merupakan ancaman bagi penguasa secara politis. Bahkan dalam banyak hal, gerakannya cukup memberi kontribusi positif dalam menghadapi serangan pemikiran dari berbagai pihak yang mencoba meruntuhkan keagungan ajaran Islam melalui penalaran-penalaran filosofisnya. Tetapi pada masa kekhalifahan al-Ma’mun, pemikiran teologis Mu’tazilah ditarik ke wilayah politis sebagai suatu pandangan resmi negara yang harus diikuti oleh umat. Siapapun yang tidak menerima kebijakan ini akan berhadapan dengan ancaman hukuman dari pihak penguasa. Pemaksaan faham keagamaan yang dikenal sebagai peristiwa mihnah (inkuisisi) ini terus berlangsung pada masa al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Selama periode tersebut tidak sedikit ulama yang mengalami intimidasi dan hukuman penjara karena berani melawan. Situasi baru pulih kembali ketika al-Mutawakkil berkuasa dengan menghentikan kebijakan yang bersifat sangat represif tersebut.
Sejarah politis yang sempat ditopang Mu’tazilah itulah yang menjadikannya sering dicibir dan dicurigai. Tetapi secara umum, perdebatan teologis yang dilancarkan Mu’tazilah tidaklah menyimpang dari apa yang diserukan Islam. Dalam banyak hal Mu’tazilah justru menunjukkan keistimewaannya tersendiri dalam sejarah pemikiran keagamaan di kalangan umat Islam. Mu’tazilah ini dikenal gigih menolak taqlid dan mencegah pengikutnya untuk menuruti pendapat orang lain tanpa lebih dahulu membahas, menguji dan menganalisis dalil-dalil yang digunakannya. Mereka sangat menghormati pendapat dan materi pendapat tanpa terpengaruh siapa yang mengemukakan pendapat tersebut. Prinsip mereka dalam mencari kebenaran agama adalah dengan memperkenankan semua orang yang beriman untuk berijtihad secara bertanggung jawab. Karakter ini pula yang menjadikan Mu’tazilah dengan pusat persebarannya di Basrah dan Baghdad mempunyai cukup banyak aliran yang berkembang dengan corak pemikirannya masing-masing.

 MULAI DARI TAFSIR
Jika Mu’tazilah menekankan tafsir bil ma’kul yang lebih menekankan aspek rasio dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tentang ide-ide ketuhanan ini; maka adalah Salafiyah yg sejak awal memberikan fondasi; dimana ia lebih menekankan tafsir bil ma’tsur drpd bil ma’kul; mendahulukan riwayat atas kajian; tokoh2nya adl Abd Allah bin Killab ((240H -842M). Ibnu Hazm Al-Andalusi (456H – 1064M) dan Ibnu Taimiyah (729H – 1329M); Asy’ariyah dan al-Maturidiyah adalah kompromi antara keduanya;

 ASY’ARIYAH: Sejarah dan Beberapa Pandangannya
Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M;
Awalnya Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ariy menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan dia pun keluar dari paham itu kembali ke pemahanan Ahli Sunnah Wal Jamaah;
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
 1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
 2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.
Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

 AL-MATURIDIYAH: Pemikiran dan Persinggungannya dengan Asy’ariyah
Aliran ini dinisbahkan kepada Imam al-Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi dari Samarkand. Dari segi pemikirannya, al-Maturidi banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ari, sekalipun ada beberapa perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Misalnya terkait persoalan ma’rifah (mengetahui Allah), Asy’ariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara’, sedangkan Maturidiyah melihat kewajiban ini juga dapat dicapai melalui penalaran akal. Demikian pula perihal kebaikan, Asyariyah tidak mengakui bahwa penilaian atas hal itu dapat dicapai melalui penalaran akal atas substansinya. Sementara Maturidiyah menerima kemampuan akal untuk menilai kebaikan sesuatu berdasarkan substansinya. Dari sini dapat diketahui bahwa Maturidiyah memberikan otoritas lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ariyah. Sekalipun demikian, pemikiran keagamaan Maturidiyah senantiasa menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai rujukan dan bingkai penafsirannya.
Perbedaan lainnya juga nampak seputar perbuatan Allah dimana Asy’ariyah menyatakannya tidak terkait dengan sebab karena Allah tidak dikenai pertanggungjawaban. Sedangkan Maturidiyah dengan redaksi berbeda lebih cenderung sejajar dengan pemikiran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa dalam tiap perbuatan-Nya pasti terdapat hikmah dan tujuan, karena mustahil Allah Yang Maha Bijaksana sampai berbuat iseng dan kesia-siaan. Tentang konsep kasb, antara keduanya juga terdapat titik perbedaan yang signifikan. Asyariyah menetapkan kasb dalam kebersamaan antara perbuatan yang diciptakan Allah dan ikhtiar hamba. Tetapi, hamba sendiri tidak memiliki pengaruh terhadap kasb tersebut karena Allah-lah yang menciptakannya. Implikasi logis pandangan ini memang bersifat fatalis karena ikhtiar hamba menjadi tidak berarti karena iapun dipengaruhi oleh Allah. Sedangkan Maturidiyah memberi pengakuan bahwa hamba memiliki potensi kebebasan dalam kasb. Dengan potensinya itu ia bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan dalam perbuatan itulah kebersamaan dengan penciptaan Allah terjadi.
Berbicara sifat-sifat Allah, Maturidi sejalan dengan Mu’tazilah bahwa sifat-sifat tersebut tidak memiliki eksistensi mandiri yang berada di luar Dzat-Nya. Padahal Asy’ariyah justru berpendapat bahwa sifat-sifat Allah memiliki eksistensi sendiri di luar dzat-Nya. Hanya saja ia sepakat dengan Asy’ariyah bahwa Allah dapat dilihat mata manusia penghuni surga di hari kiamat. Adapun persoalan al-Qur’an, Maturidiyah menyifatinya sebagai baru, tetapi tidak menyebutnya makhluk. Ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menegaskan kemakhlukan al-Qur’an dan Asyariyah yang menyifatinya bukan makhluk tetapi tidak menyatakannya qadim. Sedangkan kalam dilihat Maturidiyah sebagai salah satu sifat Allah yang melekat dengan dzat-Nya. Terhadap ayat-ayat sifat yang mutasyabih, Maturidiah memilih melakukan takwil dengan membawanya kepada arti yang muhkam dengan tetap menghindari jebakan antropomorfisme.
Maturidi dalam persoalan iman melihatnya sebagai suatu kepercayaan dalam hati, sedangkan pernyataan lisan dan amal perbuatan hanya sebagai pelengkap saja. Jadi, sejauh seseorang meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammad, sekalipun tidak melaksanakan ibadah, dia masih masuk kategori beriman. Tetapi pandangan ini tidak persis sama dengan Murjiah karena dia meyakini secara tegas bahwa pelaku dosa besar adalah fasik dan masih berhak masuk surga (atau tidak kekal di neraka) setelah dosa-dosanya diampuni Tuhan. Ini berarti juga menyelisihi faham Mu’tazilah tentang manzilah.
Dalam aliran Maturidiyah sebenarnya dikenal dua corak aliran, yakni aliran Samarkand dan Bukhara. Letak perbedaannya pada tingkat pengakuan akal sebagai instrumen penafsiran kebenaran. Aliran Samarkand dikenal lebih dekat dengan Mu’tazilah dalam beberapa pemikirannya, seperti penerimaannya atas takwil terhadap ayat-ayat yang memuat sifat-sifat antroposentris dari Tuhan. Sementara aliran Bukhara dalam hal ini lebih dekat dengan metodologi berfikirnya Asy’ariyah.
Secara lebih rinci, perbedaan dan persamaan model pemahaman / pemikiran antara Asy`ariyah dan Maturidiyah bisa kita break-down menjadi beberapa point :
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia.
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.

Daftar Pustaka
1. Ibrahim Madkour, Dr., Aliran dan Teori Filsafat Islam. Bumi Aksara.
2. Imam Muhammad Abu Zahroh. Aliran Politik dan Aqidah Islam
3. W. Montgomery Watt. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar